A. Sejarah Terbentuknya Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Sejak dianutnya konsepsi welfare staat dan menimbulkan adanya kekuasaan
freies Ermessen, timbulah suatu kekhawatiran dari warga Negara atas terjadinya
kesewenang-wenangan oleh pemerintah. Oleh karena itu pada tahun 1946 pemerintah
Belanda membuat suatu komisi
yang diketuai oleh De Monchy, Komisi ini selanjutnya disebut dengan komisi de
Monchy.
Komisi ini bertujuan untuk memikirkan dan meneliti beberapa alternative
untuk meningkatkan perlindungan hukum dari tindakan pemerintah yang menyimpang.
Pada tahun 1950 komisi De Monchy kemudian melaporkan hasil penelitiannya
tentang ‘ verhoodgde rechtsbescherming’ dalam bentuk Algemene Beginselen van Behorlijk
Bestuur (ABBB) atau dapat pula disebut AAUPB. Hasil penelitian komisi ini tidak
seluruhnya disetujui pemerintah oleh karena itu komisi ini pada akhirnya
dibubarkan dan dibentuk komisi yang baru, komisi ini bernama komisi van de
Greenten dan komisi ini pun pada akhirnya dibubarkan
juga.
Dibubarkannya ke dua komisi diatas disebabkan karena pemerintah Belanda sendiri pada waktu itu
tidak sepenuh hati dalam upaya meningkatkan perlindungan hukum warga negaranya.
Meskipun demikian ternyata hasil penelitian De Monchy ini digunakan dalam
pertimbangan putusan-putusan Raad van State dalam perkara administrasi. Dengan
kata lain walaupun AAUPB ini
tidak mudah dalam memasuki wilayah birokrasi tetapi lain halnya dalam bidang
peradilan.
Di Belanda, asas-asas umum pemerintahan dikenal dengan Algemene
Beginselen van Behoorllijke Bestuur (ABBB). Di Inggris dikenal dengan The
Principal of Natural Justice. Di Perancis disebut dengan Les Principaux
Generaux du Droit Coutumier Publique. Di Belgia disebut dengan Aglemene
Rechtsbeginselen. Di Jerman dikenal sebagai Verfassung Prinzipien. Di Indonesia
dikenal dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Di Belanda, asas-asas umum
pemerintahan yang baik (ABBB) dipandang
sebagai norma hukum tidak tertulis, namun tetap harus ditaati oleh pemerintah. Diatur dalam Wet AROB (Administrative
Rechtspraak Overheidsbeschikkingen) yakni Ketetapan-Ketetapan Pemerintah dalam
Hukum Administrasi oleh Kekuasaan Kehakiman tidak bertentangan dengan apa dalam
kesadaran hukum umum merupakan asas-asas yang berlaku (hidup) tentang
pemerintahan yang baik. Hal itu dimaksudkan bahwa asas-asas itu sabagai
asas-asas yang hidup, digali dan dikembangkan oleh hakim. Sebagai hukum tidak
tertulis, arti yang tepat untuk ABBB bagi tiap keadaan tersendiri, tidak selalu
dapat dijabarkan dengan teliti. Paling sedikit ada 7 ABBB yang sudah memiliki
tempat yang jelas di Belanda, antara lain :
1.
Asas persamaan, yaitu hal-hal yang
sama harus diperlakukan sama.
2.
Asas kepercayaan, yaitu legal
expectation, harapan-harapan yang ditimbulkan (janji-janji,keterangan-keterangan,aturan-aturan
kebijaksanaan dan rencana-rencana) sebisa mungkin harus dipenuhi.
3.
Asas kepastian hukum, artinya
secara materiil menghalangi badan pemerintah untuk menarik kembali suatu
ketetapan dan mengubahnya yang menyebabkan kerugian yang berkepentingan,
kecuali karena 4 hal, yakni dipaksa oleh keadaan, ketetapan didasarkan atas
kekeliruan, ketetapan didasarkan atas keterangan yang tidak benar, dan syarat
ketetapan tidak ditaati. Secara formil ketetapan yang memberatkan dan menguntungkan
harus disusun dengan kata-kata yang jelas.
4.
Asas kecermatan, bahwa suatu
ketetapan harus diambil dan disusun dengan cermat.
5.
Asas pemberian alasan, yakni
ketetapan harus memberikan alasan, harus ada dasar fakta yang teguh dan
alasannya harus mendukung.
6.
Larangan penyalahgunaan wewenang
atau detournement depouvoir, maksudnya tidak diperkenankan menggunakan wewenang
untuk tujuan yang lain.
7.
Larangan bertindak sewenang-wenang
atau larangan willekeur, yakni tindakan sewenang-wenang, kurang memperhatikan
kepentingan umum, dan secara kongkrit merugikan.
B.
Pengertian Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AAUPB)
1. Ridwan
HR
Pemahaman mengenai AAUPB tidak hanya dapat dilihat dari segi kebahasaan
saja namun juga dari segi sejarahnya, karena asas ini timbul dari sejarah juga. Dengan bersandar pada kedua
konteks ini, AAUPB dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan dasar
dan tatacara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara
demikian penyelenggaraan pemerintahan menjadi baik, sopan, adil, terhormat,
bebas dari kedzaliman, pelanggaran peraturan tindakan penyalahgunaan wewenang,
dan tindakan sewenang-wenang.[1]
2. Jazim
Hamidi
Definisi AAUPB menurut hasil penelitian Jazim Hamidi, antara lain :
- AAUPL merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum Administrasi Negara.
- AAUPL berfungsi sebagai pegangan bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan atau beschikking) dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat.
- Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digalidalam praktik kehidupan di masyarakat.
- Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. [2]
3. Crince
le Roy
Konsepsi AAUPB menurut Crince le Roy yang meliputi: asas kepastian hukum,
asas keseimbangan, asas bertindak cermat, asas motivasi untuk setiap keputusan
badan pemerintah, asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan, asas kesamaan
dalam pengambilan keputusan, asas permainan yang layak, asas keadilan atau
kewajaran, asas menanggapi pengharapan yang wajar, asas meniadakan akibat-akibat
suatu keputusan yang batal, dan asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi.
Koentjoro menambahkan dua asas lagi, yakni: asas kebijaksanaan dan asas
penyelenggaraan kepentingan umum.
4. Hadjon
AAUPB yang telah mendapat pengakuan dalam praktek hukum di Belanda, yaitu
asas persamaan, asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas kecermatan, asas
pemberian alasan (motivasi), larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan
bertindak sewenang-wenang.[3]
C.
Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB) di Indonesia
Pada mulanya keberadaan AAUPB ini di Indonesia diakui secara yuridis
formal sehingga belum memiliki kekuatan hukum formal. Ketika pembahasan RUU No.
5 Tahun 1986 di DPR, fraksi ABRI mengusulkan agar asas-asas itu dimasukan
sebagai salah satu gugatan terhadap keputusan badan/pejabat tata usaha Negara.
Akan tetapi putusan ini ditolak oleh
pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail selaku selaku Menteri
Kehakiman saat itu. Alasan tersebut adalah sbb:
“Menurut hemat kami, dalam praktik
ketatanegaraan kita maupun dalam Hukum Tata Usaha Neagara yang berlaku di
Indonesia, kita belum mempunyai criteria tentang algemene beginselen van
behoorlijk bestuur tersebut yang berasal dari negeri Belanda. Pada waktu ini
kita belum memiliki tradisi administrasi yang kuat mengakar seperti halnya di
negara-negara kontinental
tersebut. Tradisi demikian bisa dikembangkan melalui yurisprudensi yang
kemudian akan menimbulkan norma-norma. Secara umum prinsip dari Hukum Tata
Usaha Negara kita selalu dikaitkan dengan aparatur pemerintahan yang bersih dan
berwibawa yang konkretisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas
sekali dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkret”.[4]
Tidak dicantumkannya AAUPB
dalam UU PTUN bukan berarti eksistensinya tidak diakui sama sekali, karena
ternyata seperti yang terjadi di Belanda AAUPB ini diterapkan dalam praktik
peradilan terutama pada PTUN, sebagaimana akan terlihat nanti pada sebagian
contoh-contoh putusan PTUN. Kalaupun AAUPB ini tidak terakomodasi dalam UU
PTUN, tetapi sebenarnya asas-asas ini dapat digunakan dalam praktik peradilan
di Indonesia karena memiliki sandaran dalam pasal 14 ayat (1) UU No. 14/1970
tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman: “Pengadilan tidak boleh menolak menolak
untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Dalam pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 ditegaskan; “Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.” Dengan ketentuan pasal ini, asas-asas
ini memiliki peluang untuk digunakan dalam proses peradilan administrasi di
Indonesia.
Seiring dengan perjalanan
waktu dan perubahan politik Indonesia, asas-asas ini kemdian muncul dan dimuat
dalam suatu undang-undang, yaitu UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).[5]
Pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa asas umum pemerintahan negara yang baik
adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum
untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme.[6]
Dalam Bab III Pasal 3 UU No.
28/1999 menyebutkan asas-asas umum penelenggaraan negara meliputi:
1.
Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
2.
Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggara negara.
3.
Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4.
Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5.
Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6.
Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
7.
Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.[7]
Di Indonesia, pemikiran
tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik secara populer kali pertama
disajikan dalam buku Prof. Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya yang
berjudul ‘Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi
Negara’ mengetengahkan 13 asas yaitu:[8]
1. Asas
kepastian hukum
Asas kepastian hukum memiliki
dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum material, yang lain bersifat formal.
Aspek hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan. Dalam banyak keadaan
asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali suatu
keputusan. Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah
diperoleh seorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah. Jadi demi kepastian
hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk
dicabut kembali, sampai dubuktikan sebaliknya dalam proses peradilan. Adapun
aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta bahwa
ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan
yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas kepastian
hukum memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat
apa yang dikehendaki daripadanya.
2. Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki adanya
keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan seorang
pegawai. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai
jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan seorang
sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada dan seiring dengan
persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. Artinya terhadap
pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda akan
dekenakan sanksi yanga sama, sesuai dengan kriteria yang ada dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[9]
3. Asas kesamaan
Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan
pemerintahan mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas
kasus-kasus yang faktanya sama. Asas ini memaksa pemerintah untuk menjalankan
kebijaksanaan. Aturan kebijaksanaan, memberi arah pada pelaksanaan wewenang
bebas.
4. Asas
bertindak cermat
Asas Bertindak Cermat, asas ini menghendaki pemerintah bertindak cermat
dalam melakukan aktivitas penyelenggaraan tugas pemerintahan sehingga tidak
menimbulkan kerugian bagi warga negara. Dalam menerbitkan ketetapan, pemerintah
harus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua faktor yang terkait
dengan materi ketetapan, mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan yang
diajukan oleh pihak yang berkepentingan, mempertimbangkan akibat hukum yang
timbul dari ketetapan.
5. Asas motivasi
untuk setiap putusan
Asas Motiasi untuk Keputusan, asas ini menghendaki setiap ketetapan harus
mempunyai motivasi/alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan ketetapan.
Alasan harus jelas, terang, benar, obyektif, dan adil. Alasan sedapat mungkin
tercantum dalam ketetapan sehingga yang tidak puas dapat mengajukan banding
dengan menggunakan alasan tersebut. Alasan digunakan hakim administrasi untuk
menilai ketetapan yang disengketakan.
6. Asas jangan
mencampurkan adukan wewenang
Asas tidak Mencampuradukkan Kewenangan, di mana pejabat Tata Usaha Negara
memiliki wewenang yang sudah ditentukan dalam perat perundang-undangan (baik
dari segi materi, wilayah, waktu) untuk melakukan tindakan hukum dalam rangka
melayani/mengatur warga negara. Asas ini menghendaki agar pejabat Tata Usaha
Negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah
ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang
melampaui batas.
7. Asas
permainan yang layak
Asas ini menghendaki agar
warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan
keadilan serta diberi kesempatan untuk
membela diri dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya
putusan administrasi. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan
keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Disamping
itu, pejabat administrasi harus mematuhi aturan-aturan yang yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga dituntut
bersikap jujur dan terbuka terhadap segala aspek yang berkaitan dengan hak-hak
warga negara.[10]
8. Asas keadilan
atau kewajaran
Asas Keadilan dan Kewajaran, asas keadilan menuntut tindakan secara
proposional, sesuai, seimbang, selaras dengan hak setiap orang. Asas kewajaran
menekankan agar setiap aktivitas pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang
berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan dengan moral, adat istiadat.[11]
9. Asas
menanggapi penghargaan yang wajar
Asas Kepercayaan dan Menanggapi Penghargaan yang Wajar, asas ini
menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan pemerintah harus menimbulkan
harapan-harapan bagi warga negara. Jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan
kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan
bagi pemerintah.
10. Asas
meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal
Asas ini menghendaki agar kedudukan seseorang dipulihkan kembali sebagai akibat
dari keputusan yang batal atau asas
ini menghendaki jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan, maka yang
bersangkutan harus diberi ganti rugi atau rehabilitasi.
11. Asas
perlindungan atas pandangan hidup
Asas Perlindungan atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi, asas ini
menghendaki pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai
negeri dan warga negara. Penerapan asas ini dikaitkan dengan sistem keyakinan,
kesusilaan, dan norma-norma yang dijunjung tinggi masyarakat. Pandangan hidup
seseorang tidak dapat digunakan ketika bertentangan dengan norma-norma suatu
bangsa.
12. Asas
kebijaksanaan
Asas Kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan
kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada perat perundang-undangan formal.
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum
Penyelenggaraan Kepentingan Umum, asas ini menghendaki agar pemerintah
dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni
kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Mengingat
kelemahan asas legalitas, pemerintah dapat bertindak atas dasar kebijaksanaan
untuk menyelenggarakan kepentingan umum.[12]
D. Fungsi dan Arti Penting AAUPB
Pada awalnya, AAUPB
dimaksudkan sebagai sarana perlindungan hukum (rechtsbescherming) dan bahkan
dijadikan sebagai instrumen untuk peningkatan perlindungan hukum (verhoodge
rechtsbescherming) bagi warga negara dari tindakan pemerintah. AAUPB
selanjutnya dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya
administrasi, di samping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan
pemerintahan.[13]
Menurut SF. Marbun, AAUPB memiliki arti penting dan fungsi berikut:
1. Bagi administrasi
negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan
terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat samar atau tidak
jelas.
2. Bagi warga
masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPB dapat dipergunakan sebagai dasar
gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU No. 5/1986.
3. Bagi hakim TUN, dapat
dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan
badan atau pejabat TUN.
4. Selain itu, AAUPB
tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu
undang-undang.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Lutfi Effendi, S.H., M.HUM. 2004. Pokok-Pokok
Hukum Administrasi. Malang: Bayumedia Publishing.
Nomensen Sinamo S.H, M.H. 2010. Hukum
Administrasi Negara. Jakarta: Jala Permata Aksara.
Philipus M. Hadjon. 2008. Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia .
Yogyakarta: Gajah
Mada University
Press
Ridwan HR. 2008.
Hukum Administrasi Negara. Jakarta :
Rajawali Pers
[2] Nomensen Sinamo S.H, M.H. Hukum
Administrasi Negara. (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010). hal. 142
[3] Philipus
M. Hadjon, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press ,
2008), hal. 270
[5] Ibid. hal. 254
[6] Lutfi Effendi, S.H., M.HUM, Pokok-Pokok
Hukum Administrasi. (Malang: Bayumedia Publishing, 2004). hal. 85
[7] Ibid. hal. 86
[8] Ibid. hal. 84
[9] Ridwan
HR. Op. Cit. hal. 259
[10] Ibid. hal. 268
[11] Ibid. hal.271
[12] Ibid. hal. 277
[13] Ibid. hal. 251
[14] Nomensen Sinamo. Op.cit. hal.
142-143
Borgata Hotel Casino & Spa Jobs | JamBase
BalasHapusSee what's available at Borgata 충청남도 출장샵 Hotel Casino 청주 출장마사지 & Spa including 인천광역 출장마사지 hourly 김제 출장마사지 pay, benefits, work-life 안산 출장마사지 balance, work-life balance,